Kisah ini berasal dari India, sudah ada sejak zaman dulu.
Dulu kala di sebuah desa di pinggir hutan hidup seorang perempuan,
bernama Gautami, bersama satu-satunya putranya. Si anak ini suatu ketika
bermain di pinggir hutan. Ketika dia sedang asyik berguling-guling di
rerumputan, seekor ular yang sangat berbisa secara tiba-tiba menggigitnya. Anak
itu pun tewas. Melihat ini sang ibu kaget dan menjerit lalu menangis.
Mendengar jeritan itu, seorang pemburu yang sedang istirahat tak
jauh dari situ bergegas mendatangi dan lamgsung menangkap si ular. Pemburu itu
sudah siap membunuhnya. Dia berkata, “Nyoya, ini dia pembunuh anakmu. Kita bunuh
saja agar dia tak menggingit lagi. Nah, nyonya ingin ular ini diapakan –
dibakar atau dipotong kepalanya?”
Tetapi Gautami berkata, “Tuan, jangan begitu. Biarkan ular itu
pergi.” Si pemburu tercengang. Gautami melanjutkan, “membunuh ular itu tak bisa
mengembalikan nyawa anakku. Lagi pula, membunuhnya sama saja berbuat dosa,
apalagi ular itu juga tak menyerangmu. Kalau ular itu punya ibu, tentu ibunya
juga akan bersedih, kan?”
Pemburu
yang bingung ini membantah. “Nyonya, pandanganmu sungguh luar biasa. Kau sungguh
berjiwa besar. Tetapi kami orang biasa yang hanya bisa berpikir praktis. Kalau yang
mati anakku, aku tentu akan membalas dendam. Coba saja nyonya tanya kepada
orang lain, pasti saran mereka sama dengan saranku.”
Gautami menjawab, “Maaf, tapi aku tak sepakat. Kesedihan tak bisa
sembuh oleh balas dendam. Lagipula, orang baik harus tetap berbuat baik. Pembalasan
hanya akan menciptakan kesedihan-kesedihan lain. Hanya maaf-lah yang bisa
mengobati duka. Kurasa, Anda tak perle menjadi orang suci untuk bisa bersikap
seperti ini. Aku rasa, kematian anakku sudah takdir.”
Tetapi si pemburu tetap bersikeras. Argumen tentang takdir tak
membuatnya menyerah. “Maaf, nyonya. Menurut saya, ular ini bersalah padamu
karena dia sudah membunuh putramy satu-satunya. Wajar jika ia dibunuh. Lagi pula,
ini bukan soal putramu, nyonya. Makluk jelek ini pasti akan menggigit orang
lain lagi. Jadi membunuh ular ini bagiku adalah salah satu bentuk kewajiban
untuk melindungi orang lain.”
Tetapi Gautami tetap bersikukuh dan tak mengizinkan si pemburu
membunuh ular itu. Meski si pemburu mengatakan kadang-kadang dewa sekalipun
membunuh satu makhluk untuk melindungi banyak makhluk, namun Gautami tetap
bergegas dengan pendapatnya. Pada saat itu, ular yang sedari tadi dibekap
mulutnay berusaha melepaskan diri. Akhirnya, ketuka perdebatan menemui jalan
buntu, pemburu dan Gautami memandang pada ular. Pemburu melepaskan bekapannya
pada mulut ular itu, namun tetap menahan ular itu agar tidak lari.
Begitu bebas, ular itu berkata, “Goblok kamu, hai pemburu! Bisa-bisanya
kau menyalahkan aku! Aku hanya ular! Apa engkau tak paham juga? Ular!”
Ular itu melanjutkan, “Aku tak punya kehendak sendiri. Aku dikirim
olek Kematian untuk membunuh anak itu. Kau boleh tak percaya, tetapi aku tak
punya sedikitpun niat untuk melukai anak itu. Aku bahkan tak ada rasa marah
atau dendam pada anak itu. Kalau mau cari siapa yang salah, salahkan saja
Kematian! Dia-lah yang memberi perintah!”
Si pemburu tentu tambah marah. “Diam kamu, keparat! Jangan melempar
kesalahan pada pihak lain. Meski kau membunuh anak itu atas perintah Kematian,
akmu tetap saja membunuh. Sama seperti tanah dan alat cetak menciptakan pot. Kamulah
penyebab kematian si anak! Kamu patut mati!”
Tetapi ular itu ternyata filsuf hebat. Dia berkata, “Aha, pot dan
penyebab yah! Untuk membuat pot semua sebab harus bersatu. Tidak ada pot tanpa
tanah liat dan alat cetaknya. Dan agar tanah liat dan alat cetak ini bekerja,
harus ada niat, harus ada rancangan. Nah, jika aku adalah salah satu sebab, aku
tak punya niat. Jadi dalam hal ini aku tak bersalah.” Ular itu mengangkat
kepalanya, merasa menang.
Pemburu itu merasa frustasi. Dia lalu berkata kepada ular itu. “Baik,
baik, kamu mennag bukan sebab utama. Tetapi kamu sebab langsung! Racunmu yang
menjadi penyebabnya!”
Pemburu itu langsung menatap Gautami, “Nyonya. Jangan pedulikan
bualan si ular itu. Dialah yang jelas-jelas membunuh anakmu.”
Ular itu menggeleng-geleng, lalu berkata, “Begini Tuan. Aku hanya
salah satu alat di sini. Aku penyebab tak langsung, bukan yang berkehendak. Dan
karena aku tak punya kehendak sendiri, aku tak bersalah. Tuan, apakah kamu akan
menyalahkan ranting kering yang menyebabkan hutan terbakar?”
Muka sang pemburu bertambah marah. Dia berteriak kesal kepada si
ular, “Dasar lidah bercabang dua! Pandai sekali kau bicara! Yang jelas, kamu
sudah membunuh anak ini dan aku akan membunuhmu sekarang, habis perkara!”
Kini ular berada dalam bahaya besar. Pada saat itu muncul sang
Kematian. Ternyata tubuhnya pendek, dan wajahnya pucat. Tampaknya sang Kematian
jengkel kepada sang ular karena si ular menimpakan kesalahan kepadanya. “Hei
ular. Benar aku yang kirim tugas itu. Tetapi jangan terus-terusan menyalahkan
aku! Aku dan kamu tak bertanggung jawab atas kematian anak ini. Kau dan aku
sama-sama hanya alat. Akau adalah alat sang Waktu. Sang waktulah penggerak
segalanya. Kenapa kamu menyelahkan aku atas kematian anak ini?”
Ular itu menjawab, “Bukan maksud saya menyalahkan Anada, Tuan
Kematian. Saya hanya bilang kalau Andalah yang mengirim saya. Soal yang salah
itu siapa, bukan urusan saya. Saya disini hanya berusaha menyelamatkan nyawa
saya, tuan.”
Kemudian si ular berpaling kepada si pemburu, dan berkata, “Nah,
kau dengar kan? Tuan Kematian mengakui bahwa dialah yang mengirimku. Lepaskan
aku sekarang.”
Tetapi si pemburu itu tak mau melepaskannya. “Ya aku dengar. Baik! Tetapi,
seklaipun Kematian ikut bertanggung jawab, bukan berarti lau juga tak
bertanggung jawab. Kupikir Kematian memang bersalah karenan membunuh orang tak
berdosa, dan aku tetap kan membunuhmu karena kamulah yang melakukan pekerjaan
kotor ini!”
Kini sang Kematian berkata,”Tuan pemburu. Kami berdua ini tak
bersalah. Kami tergantung kepada Waktu. Keliru kalau anda menyalahkan kami
berdua.”
Pemburu menyeringai sinis. “Ini tak masuk akal! Absurd! Jika segala
sesuatu tergantung kepada Waktu, maka tak ada lagi kebebasan. Dan jika begitu,
bagaimana mungkin muncul kebahagiaan karena perbuatan baik dan kemarahan karena
perbuatan jahat? Fakta bahwa emosi ada seperti ini jelas merupakan tanda bahwa
kita bebas. Nak, kamu mau bilang apa sekarang?”
Kali ini ular dan sang Kematian tak bisa menjawab. Keduanya hanya
mengulang kembali argumennya. Bahwa mereka adalah alat belaka dari sang Waktu,
tetapi sepertinya kali ini mereka mulai kehilangan kepercayaan kepada argumen
mereka sendiri. Pada saat itu muncul sang Waktu. Dia memberi salam kepada ular,
pemburu, Kematian, dam kepada sang ibu.
Sang Waktu berkata, “Tuan pemburu. Anda mesti menyadari kalau ular
dan kematian tak bertanggung jawab atas kematian anak itu. Tetapi perlu juga
Anda ketahui, aku juga tak bertanggung jawab. Nah, lantas siapa yang
bertanggung jawab? Kalau kau mau menimpahkan kesalahan, timpakan saja kepada
karma. Anak itu mati karena karmanya di kehidupan sebelumnya. Karma selalu ada
pad diri makhluk, seperti cahaya dan bayang-bayang selalu berkaitan satu sama
lain. Nah, jadi tak ada penyebab lain dari peristiwa yang menyedihkan ini.
Gautami mengangguk-angguk dan berkata kepada si pemburu, “Nah,
paham kan? Ini semua lantaran karma anakku. Barangkali aku di masa lampau
pernah berbuat buruk sehingga ikut berperan dalam kematian anakku. Yang jelas
ular itu tak ada kaitannya dengan kematian anakku. Lepaskan dia.”
Sang pemburu menggelengkan kepalanya, lalu tertawa getir. Dia merasa
dikeroyok dan dipojokkan. Dia tak suka melepaskan ular itu hanya karena alasan
metafisika yang rumit. Kalau memang karma adalah argumen moral yang sah, apa
jadinya sengan dirinya sendiri yang berprofesi sebagai pemburu, yang membunuh
dengan kekerasan. Pemburu itu tertawa keras tapi sedih – dan dia dengan enggan
melepaskan ular itu.
Bagaimana pendapat anda? utarakan filasafat anda..
Bagaimana pendapat anda? utarakan filasafat anda..