Rabu, 08 Januari 2014

Kabut


Kabut menyelimuti semua, rumah dan manusia
Bahkan sepeda pun dikayuh tanpa suara
Dunia kita adalah dunia hantu
Atau akukah hantu itu?
Hatiku terbungkus gumpalan kain
Sebuah hadiah berharga
Tanpa alamat ditujunya



Dalam Novel : Ascolta La Mia Voce karya Susanna Tamaro

Ambisi


Ambisi
Oleh : Khalil Gibran

Sekuntum kembang violet yang mungil dan hidup dalam ketentraman bersama teman-temannya. Ia terayun-ayun penuh kedamaian di antara kembang-kembang lainnya di sebah taman yang berkurung di kesenyapan
Hingga pada suatu hari yang berjubahkan titik embun, violet itu menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi, memandang berkeliling. Dilihatnya bunga mawar yang menjulang tinggi, tegak ke angkasa, menyerupai obor yang berkerejam dengan kemilauan.
Bibir biru sang violet terkuak perlahan, lalu bergumam, “Betapa naifnya aku di antara kembang-kembang itu. Sunggung nista derajatku di antara mereka. Tubuhku telah dibentuk dalam kekerdilan dan kekusaman oleh Alam. Aku hanya bisa merunduk, bersatu dengan bumi, tak mampu menjulurkan kepalaku ke cakrawala biru itu, atau sekedar mendorongkan wajahku ke raut matahari, tidak seperti mawar yang tinggi itu.”
Demi menangkap gumaman tetangganya, mawar itu tertawa. Ia berkata, “Sungguh ganjil keluhan kelihanmu itu! Engkau tidak menyadari kemuliaanmu, padahal engkau menyimpan banyak keistimewaan. Alam telah menghadiahimu keindahan dan aroma yang semerbak, yang tidak dimiliki oleh kembang-kembang lainnya. Janganlah engkau menyimpan rasa iri, bersyukurlah atasa segala yang telah engkau miliki. Ketahuilah, saudaraku, bahwa siapapun yang telah merendahkan hatinya akan selalu berselimutkan kebahagiaan dan siapa pun yang meninggikan hatinya akan selalu diterkam oleh kehancuran.
Violet itu menukas, “Engkau berkata begitu lantaran engkau memiliki apa yang sangat kuhasratkan. Dengan keagunganmu itu engkau kian menistaku. Sungguh memilukan wejangan yang diluncurkan makhluk yang mujur kepada makhluk yang malang. Sungguh luhur mahkluk yang memiliki kejayaan yang berdiri di congkak sebagai pemberi wejangan di hadapan makhlauk lainnya yang kerdil nan dina!”
Rupanya alam mengangkap obrolan violet dan mawar itu. Alam mendekati keduanya, lalu berkata “Duhai violet perawanku, gerangan apakah yang tengah melandamu? Selama ini engkau senantiasa santun dan bersahaja dalam ucapan dan sikapmu. Apakah kedengkian dan keserakahan telah meracuni hatimu dan membunuh semua kemuliaan yang bertapa di hatimu?
Dengan nada merintih, violet itu menyahut, “Duhai Ibu yang agung nan luhur, yang pemurah dan pengasih, dengan segenap ketulusan hatiku, kuharapkan engkau sudi memenuhi hasratku untuk menjadi sekuntum mawar...”
Alam berkata, “Engkau buta akan makna pencarianmu sendiri. Engkau tak menyadari ancaman taring-taring kematian yang bersemayam di balik ambisimu itu. Ketahuilah, violet perawanku, engkau hanya akan menuai penyesakan bila engkau telah menjelma mawar. Dan penyesalan tak akan memberimu apa-apa kecuali kesia-siaan.”
Namun violet itu kembali membantah, “Duhai Ibu, kumohon jadikanlah diriku sekuntum mawar yang menjulang tinggi yang penuh bangga akan kebesarannya. Jangan engkau acuhkan semua ancaman itu, biarlah aku yang menanggungnya sendiri.”
Akhirnya alam mengalah. Ia berkata, “Sungguh engkaulah violet yang gelap mata dan keras kepala! Kini aku akan memenuhi kehendakmu, namun engkau harus menganggung semua petaka yang menimpu kelak sendirian.”
Alam segera merekahkan jari-jarinya yang penuh rahasia dan keajaiban, menyepuh akar-akar violet. Seketika violet itu menjulang tinggi menjelma sekuntum mawar, melampaui semua kembang yang berada di taman itu.
Ketika senja berarak, langit perlahan kian sempurna diselupuki mendung hitam. Gelegar halilintar yang mengamuk sangat memekakkan segala makhluk yang berdiri menjulang di taman itu. Hujan lebat dan badai kencang bentul-betul mengagahi taman itu. Badai mengacak-acak dedahanan dan dedaunan, menumbangkan tanaman-tanaman, merontokkan tangkai-tangkai bunga yang tinggi. Semuanya berantakan di terkam keganasan badai, kecuali tumbuhan yang merayam de permukaan bumi. Dan manakala langit kembali berkilau cemerlang, tak ada satupun tanaman pun di taman itu yang selamat dari amukan badai kecuali keluarga violet yang kerdil melata, yang berlindung di antara kaki-kaki tembok taman itu.
Salah satu kembang violet yang mungil itu mengadahkan kepalanya, menyimak berkeliling, mencermati sisa-sisa kehancuran yang diciptakan prahara itu. Ia tersenyum bahagia kepada teman-temannya, lalu berkata, “Lihatlah kehancuran yang disematkan badai kepada kembang-kembang sombong itu!”
Violet yang lain menjawab, “Hanya kita yang selamat dari amukan langit, sekalipun tubuh kita lengket dan melata pada tanah.”
Violet yang lainnya ikut menimpali. “Justru badai tidak akan melihat kita larena tubuh mungil kita.”
Saat itulah mata Alam menemukan kembang violet yang telah menjelma mawar itu bercampak pada tanah. Tubuhnya berantakan di antara rerumputan laksana tentara perang yang terkapar di medan perang. Ratu violet mengangkat suaranya dan berseru kepada keluarganya, “Anak-anakku, perhatikanlah apa yang telah menimpa violet yang serakah itu, yang telah mengubah dirinya menjadi setangkai mawar hanya dalam waktu satu jam. Inilah peringatan terbaik bagi kalian semua.”
Mawar yang berasal dari violet itu berusaha mengumpulkan seluruh sisa tenaganya, dan berkata perlahan, “Wahai bunga-bunga bodoh, kalian hanya bisa merasa puas akan semua yang kalian miliki. Dulu aku juga merasa berpuas diri atas kehidupanku. Namun kepuasan itu hanyalah belenggu yang memisahkan keberadaaanku dengan gemuruh semesta kehidupan yang sejati, membungkamku dalam ketemtraman dan kedamaian semu. Aku telah meresapi makan kehidupan yang sama dengan yang kini kalian tempuh, yang mengkeret penuh gentar dalam pelukan bumi. Aku telah selalu mengimpikan salju menyelimutiku dengan dengus kematian dalam kepasrahan. Tapi kini aku sungguh sangat bahagia lantaran aku telah berhasil melampaui kekerdilanku dan menerawang keluasan rahasia semesta. Inilah hal yang tak pernah kutemukan. Kini aku berhasil mencampakkan ketamakanku lantaran kau telah menangkap bisikan kehidupan kepada bumi yang maya ini, ‘Hasrat untuk melampaui wujud kita adalah hakikat kemakhlukan kita’.
Karena itulah jiwaku memberontak untuk mendapatkan kehidupan yang melampaui kehidupanku yang kerdil dan terbatas. Aku selalu meyakini bahwa ngarai yang curam tak akan pernah menangkap nyayian bintang-bintang. Itulah semangat yang mendorongku menentang kelemahanku guna menganggapai apa yang belum kumiliki. Itulah yang menyebabkan perlawananku menjelma sebuah kekuatan maha dahsyat, kehendakku menjelma suatu daya penciptaan. Ketahuilah bahwa Alam adalah wujud besar bagi impian-impian kita yang paling sejati. Alam telah mengabulkan hasratku untuk menjadi setangkai mawar.”
Dia terhenyak sejenak. Lalu kembali melanjutkan dengan sisa-sisa suaranya yang berbaur antara kebahagiaan dan kemenangan, “Selama satu jam aku telah menjalani kehidupan sebagai setangkai mawar. Aku telah mengenyam hidup sebagai sang ratu. Dengan mata mawar, aku telah menerawang keluasan semesta ini. Dengan telinga mawar, aku telah menyimak semua bisikan semesta. Apakah semua keagungan itu dapat digapai hanya dengan kekerdilan kalian itu?”
Kepalanya tertekuk, suaranya tercekik, nafasnya terengah-engah. Ia mamaksa suaranya kembali mengalir, “Kini aku akan mati karena jiwaku telah menggapai segala tujuannya. Kini aku telah melampaui pengetahuanku tentang suatu dunia yang telah membobol dinding keterbatasan kelahiranku. Inilah tujuan hidupku. Inlah rahasua wujudku.”
Mawar itu menggigil, melepaskan nafas terakhirnya sambil merekahkan sekuntum senyuman yang beriasakna kemengan akan terkabulnya harapan dan tujuan hidupnya. Sekuntum senyum kejayaan, senyuman Tuhan.

Selasa, 07 Januari 2014

Dark Eye's


Tidakkah kalian melihat 
Ada ruang kosong
Di mata ini
Goresan luka
Yang menyayat hati
Seakan aku tlah mati