Senin, 18 November 2013

Samsara – Karma



Kisah ini berasal dari India, sudah ada sejak zaman dulu.
Dulu kala di sebuah desa di pinggir hutan hidup seorang perempuan, bernama Gautami, bersama satu-satunya putranya. Si anak ini suatu ketika bermain di pinggir hutan. Ketika dia sedang asyik berguling-guling di rerumputan, seekor ular yang sangat berbisa secara tiba-tiba menggigitnya. Anak itu pun tewas. Melihat ini sang ibu kaget dan menjerit lalu menangis.
Mendengar jeritan itu, seorang pemburu yang sedang istirahat tak jauh dari situ bergegas mendatangi dan lamgsung menangkap si ular. Pemburu itu sudah siap membunuhnya. Dia berkata, “Nyoya, ini dia pembunuh anakmu. Kita bunuh saja agar dia tak menggingit lagi. Nah, nyonya ingin ular ini diapakan – dibakar atau dipotong kepalanya?”
Tetapi Gautami berkata, “Tuan, jangan begitu. Biarkan ular itu pergi.” Si pemburu tercengang. Gautami melanjutkan, “membunuh ular itu tak bisa mengembalikan nyawa anakku. Lagi pula, membunuhnya sama saja berbuat dosa, apalagi ular itu juga tak menyerangmu. Kalau ular itu punya ibu, tentu ibunya juga akan bersedih, kan?”
Pemburu yang bingung ini membantah. “Nyonya, pandanganmu sungguh luar biasa. Kau sungguh berjiwa besar. Tetapi kami orang biasa yang hanya bisa berpikir praktis. Kalau yang mati anakku, aku tentu akan membalas dendam. Coba saja nyonya tanya kepada orang lain, pasti saran mereka sama dengan saranku.”
Gautami menjawab, “Maaf, tapi aku tak sepakat. Kesedihan tak bisa sembuh oleh balas dendam. Lagipula, orang baik harus tetap berbuat baik. Pembalasan hanya akan menciptakan kesedihan-kesedihan lain. Hanya maaf-lah yang bisa mengobati duka. Kurasa, Anda tak perle menjadi orang suci untuk bisa bersikap seperti ini. Aku rasa, kematian anakku sudah takdir.”
Tetapi si pemburu tetap bersikeras. Argumen tentang takdir tak membuatnya menyerah. “Maaf, nyonya. Menurut saya, ular ini bersalah padamu karena dia sudah membunuh putramy satu-satunya. Wajar jika ia dibunuh. Lagi pula, ini bukan soal putramu, nyonya. Makluk jelek ini pasti akan menggigit orang lain lagi. Jadi membunuh ular ini bagiku adalah salah satu bentuk kewajiban untuk melindungi orang lain.”
Tetapi Gautami tetap bersikukuh dan tak mengizinkan si pemburu membunuh ular itu. Meski si pemburu mengatakan kadang-kadang dewa sekalipun membunuh satu makhluk untuk melindungi banyak makhluk, namun Gautami tetap bergegas dengan pendapatnya. Pada saat itu, ular yang sedari tadi dibekap mulutnay berusaha melepaskan diri. Akhirnya, ketuka perdebatan menemui jalan buntu, pemburu dan Gautami memandang pada ular. Pemburu melepaskan bekapannya pada mulut ular itu, namun tetap menahan ular itu agar tidak lari.
Begitu bebas, ular itu berkata, “Goblok kamu, hai pemburu! Bisa-bisanya kau menyalahkan aku! Aku hanya ular! Apa engkau tak paham juga? Ular!”
Ular itu melanjutkan, “Aku tak punya kehendak sendiri. Aku dikirim olek Kematian untuk membunuh anak itu. Kau boleh tak percaya, tetapi aku tak punya sedikitpun niat untuk melukai anak itu. Aku bahkan tak ada rasa marah atau dendam pada anak itu. Kalau mau cari siapa yang salah, salahkan saja Kematian! Dia-lah yang memberi perintah!”
Si pemburu tentu tambah marah. “Diam kamu, keparat! Jangan melempar kesalahan pada pihak lain. Meski kau membunuh anak itu atas perintah Kematian, akmu tetap saja membunuh. Sama seperti tanah dan alat cetak menciptakan pot. Kamulah penyebab kematian si anak! Kamu patut mati!”
Tetapi ular itu ternyata filsuf hebat. Dia berkata, “Aha, pot dan penyebab yah! Untuk membuat pot semua sebab harus bersatu. Tidak ada pot tanpa tanah liat dan alat cetaknya. Dan agar tanah liat dan alat cetak ini bekerja, harus ada niat, harus ada rancangan. Nah, jika aku adalah salah satu sebab, aku tak punya niat. Jadi dalam hal ini aku tak bersalah.” Ular itu mengangkat kepalanya, merasa menang.
Pemburu itu merasa frustasi. Dia lalu berkata kepada ular itu. “Baik, baik, kamu mennag bukan sebab utama. Tetapi kamu sebab langsung! Racunmu yang menjadi penyebabnya!”
Pemburu itu langsung menatap Gautami, “Nyonya. Jangan pedulikan bualan si ular itu. Dialah yang jelas-jelas membunuh anakmu.”
Ular itu menggeleng-geleng, lalu berkata, “Begini Tuan. Aku hanya salah satu alat di sini. Aku penyebab tak langsung, bukan yang berkehendak. Dan karena aku tak punya kehendak sendiri, aku tak bersalah. Tuan, apakah kamu akan menyalahkan ranting kering yang menyebabkan hutan terbakar?”
Muka sang pemburu bertambah marah. Dia berteriak kesal kepada si ular, “Dasar lidah bercabang dua! Pandai sekali kau bicara! Yang jelas, kamu sudah membunuh anak ini dan aku akan membunuhmu sekarang, habis perkara!”
Kini ular berada dalam bahaya besar. Pada saat itu muncul sang Kematian. Ternyata tubuhnya pendek, dan wajahnya pucat. Tampaknya sang Kematian jengkel kepada sang ular karena si ular menimpakan kesalahan kepadanya. “Hei ular. Benar aku yang kirim tugas itu. Tetapi jangan terus-terusan menyalahkan aku! Aku dan kamu tak bertanggung jawab atas kematian anak ini. Kau dan aku sama-sama hanya alat. Akau adalah alat sang Waktu. Sang waktulah penggerak segalanya. Kenapa kamu menyelahkan aku atas kematian anak ini?”
Ular itu menjawab, “Bukan maksud saya menyalahkan Anada, Tuan Kematian. Saya hanya bilang kalau Andalah yang mengirim saya. Soal yang salah itu siapa, bukan urusan saya. Saya disini hanya berusaha menyelamatkan nyawa saya, tuan.”
Kemudian si ular berpaling kepada si pemburu, dan berkata, “Nah, kau dengar kan? Tuan Kematian mengakui bahwa dialah yang mengirimku. Lepaskan aku sekarang.”
Tetapi si pemburu itu tak mau melepaskannya. “Ya aku dengar. Baik! Tetapi, seklaipun Kematian ikut bertanggung jawab, bukan berarti lau juga tak bertanggung jawab. Kupikir Kematian memang bersalah karenan membunuh orang tak berdosa, dan aku tetap kan membunuhmu karena kamulah yang melakukan pekerjaan kotor ini!”
Kini sang Kematian berkata,”Tuan pemburu. Kami berdua ini tak bersalah. Kami tergantung kepada Waktu. Keliru kalau anda menyalahkan kami berdua.”
Pemburu menyeringai sinis. “Ini tak masuk akal! Absurd! Jika segala sesuatu tergantung kepada Waktu, maka tak ada lagi kebebasan. Dan jika begitu, bagaimana mungkin muncul kebahagiaan karena perbuatan baik dan kemarahan karena perbuatan jahat? Fakta bahwa emosi ada seperti ini jelas merupakan tanda bahwa kita bebas. Nak, kamu mau bilang apa sekarang?”
Kali ini ular dan sang Kematian tak bisa menjawab. Keduanya hanya mengulang kembali argumennya. Bahwa mereka adalah alat belaka dari sang Waktu, tetapi sepertinya kali ini mereka mulai kehilangan kepercayaan kepada argumen mereka sendiri. Pada saat itu muncul sang Waktu. Dia memberi salam kepada ular, pemburu, Kematian, dam kepada sang ibu.
Sang Waktu berkata, “Tuan pemburu. Anda mesti menyadari kalau ular dan kematian tak bertanggung jawab atas kematian anak itu. Tetapi perlu juga Anda ketahui, aku juga tak bertanggung jawab. Nah, lantas siapa yang bertanggung jawab? Kalau kau mau menimpahkan kesalahan, timpakan saja kepada karma. Anak itu mati karena karmanya di kehidupan sebelumnya. Karma selalu ada pad diri makhluk, seperti cahaya dan bayang-bayang selalu berkaitan satu sama lain. Nah, jadi tak ada penyebab lain dari peristiwa yang menyedihkan ini.
Gautami mengangguk-angguk dan berkata kepada si pemburu, “Nah, paham kan? Ini semua lantaran karma anakku. Barangkali aku di masa lampau pernah berbuat buruk sehingga ikut berperan dalam kematian anakku. Yang jelas ular itu tak ada kaitannya dengan kematian anakku. Lepaskan dia.”
Sang pemburu menggelengkan kepalanya, lalu tertawa getir. Dia merasa dikeroyok dan dipojokkan. Dia tak suka melepaskan ular itu hanya karena alasan metafisika yang rumit. Kalau memang karma adalah argumen moral yang sah, apa jadinya sengan dirinya sendiri yang berprofesi sebagai pemburu, yang membunuh dengan kekerasan. Pemburu itu tertawa keras tapi sedih – dan dia dengan enggan melepaskan ular itu.

Bagaimana pendapat anda? utarakan filasafat anda..

Jumat, 15 November 2013

For м. αяєєƒ


My Blog

Assalamualaikum wr.wb ... :)
Huaahh senengnya bisa balik lagi ke blogger, senengnya ada tempat buat nulis tanpa ada embel" galau - status gajelas, deelel :) hehhe

sebenernya ini blog kedua setelah blog ku yang pertama gak bisa dibuka karena lupa sandi emailnya .. huaaaahh jadi nangis T_T dan ini post keduaku, setelah yg pertama ada puisi karanganku sendiri loh .. hehe :*

seneng banget yak ada tempat seluas blog ini buat numpahin apa yang ada dalam pikiran kita hingga hingga menulisnya menjadi sebuah karya tulis :)

kuharap blogg ini akan langgeng menjadi tempat curahan hatiku .. :)
hehe

apa lagi yah?? udah ahh.. yang penting welcome to my self and you have looked my profile :)

wassalamualaikum wr.wb .. :)

Kamis, 14 November 2013

"Menangis Tanpa Air Mata"



Bolehkah aku menangis sekarang Tuhan?
Aku sudah tak kuasa menahan perih ini
Biar kutangisi semua walau tak memberi asa
Dan walau pada akhirnya ku harus merelakannya
Aku menangis tanpa air mata menahan luka
Seorang anak manusia yang tersakiti
Oleh rasa yang dijaganya, sekali lagi
Aku terkhianati oleh janji suci rasa ku sendiri
Biarkan aku sendiri, menangis sendiri
Tanpa dia yang sebenarnya menyakiti
Biarkan aku sendiri, menjaga rasa ini
Dan Haruskah aku tersenyum
Melihatnya jauh pergi dengan dia
Walau sesungguhnya “Aku Menangis Tanpa Air Mata”